Siapa bilang nasionalisme bersebrangan dengan religiusitas? Siapa bilang seorang yang nasionalis tidak boleh religius? Dan siapa bilang seorang yang religius tidak mungkin nasionalis?
Tengoklah sejarah kita, sejarah Islam maupun sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita akan menemukan bahwa justru orang-orang yang sangat religius (agamis) lah yang banyak mewarnai perjuangan dalam menegakkan kebenaran, hak asasi manusia dan bersahabat (baca: manusiawi) dengan yang berbeda kalangan atau dalam peperangan lebih tepat disebut musuh. Mereka jualah yang gigih membela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya (nasionalis) dengan mengorbankan harta, keluarga dan bahkan jiwanya.
Dalam sirah nabawiyah (perjalanan hidup Rasulullah saw.), kita telah sama-sama ketahui bahwa Nabi Muhammad saw., rasul terakhir, teladan semua umat dan tentunya manusia yang paling religius sepanjang zaman adalah seorang yang sangat nasionalis. Beliau teramat mencintai bangsanya (kaum Quraisy), terbukti dengan beliau memperjuangkan hak asasi kaumnya yang lemah, menghilangkan perbudakan dan dengan tarbiyah (pembinaan) nya yang langsung dibimbing oleh wahyu Allah swt telah menaikkan derajat bangsa Arab di mata dunia serta memperluas wilayah kekuasaannya.
Adapun dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan bahwa yang membawa bambu runcing melawan para penjajah adalah kalangan religius. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan bahwa ada 68 batalyon PETA yang dipimpin oleh kyai. Hal itu menujukkan bahwa para kyai ikut serta dalam kemiliteran. Laskar Hizbullah yang terdiri dari para santri pun ikut menjadi prajurit militer. Contohnya dalam peristiwa 10 November, Bung Tomo kala itu bersama arek-arek Suroboyo melawan para penjajah sambil berteriak Allahu Akbar!!. Bung Tomo dan para pengikutnya adalah orang-orang yang rajin beribadah, yang berupaya dekat dengan Allah.
Dua contoh di atas, hanyalah sebutir debu di padang pasir. Masih banyak para pejuang religius yang memperjuangkan bangsanya (nasionalis). Religius bisa diartikan yang berupaya dekat dengan Tuhannya, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini seirama dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu, seorang yang nasionalis, tidaklah selalu berarti orang yang memakai atribut kebangsaan seraya meneriakkan semboyan atau lagu kemerdekaan sedangkan ia buruk rupa akhlaq kepada Penciptanya, apatah lagi kepada sesamanya. Na`udzubillahi min dzalik.
Tentu yang benar itu, nasionalis ialah yang mencintai bangsanya dengan menjaga negrinya dari kemadharatan dan kedzaliman, memperjuangkan kebenaran, hak asasi manusia dan hak di sekelilingnya. Sesungguhnya, nilai-nilai nasionalisme seorang pejuang akan lestari jika tertanam dalam dirinya nilai-nilai religiusitas. Ia akan berjuang dengan tulus, tidak mengharap imbalan maupun pujian, sehingga perjuangannyapun adalah perjuangan yang total, tidak mudah mengeluh dan tidak patah arang.
Dalam ajaran Islam, perjuangan ini disebut jihad lillah fi sabilillah, berjuang di jalan Allah, berjuang semata-mata karena Allah. Adapun dalam mengekspresikan kecintaan kepada negeri, kita mengenal do`a Nabi Ibrahim AS yang artinya “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa..”[Al Baqarah 126]. Senada dengan bunyi hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161). Maka, berdasarkan penjelasan di atas, sudah sepantasnyalah kita sebagai muslim mengatakan dengan tegas : Aku nasionalis yang religius!
Berbicara tentang nasionalisme dan religiusitas akan selalu mengingatkan kita pada negeri kita sendiri, Republik Indonesia yang telah menginjak usia 72 tahun kemerdekaan. Beberapa waktu lalu, yaitu hari Kamis tanggal 17 Agustus 2017 bertepatan dengan tanggal 24 Dzulqaidah 1938 H, secara serempak seluruh pelosok negri ini merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72, tak terkecuali di SMP Sekolah Alam Quran (SalamQu) Cendekia Boarding School yang terletak di Kec. CIawi Kab. Bogor Jawa Barat. Dalam rangka menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada para siswa penghafal Quran yang tentunya sedang dibangun nilai-nilai religiusitas dalam dirinya, para ustadz/ah menugaskan proyek (kegiatan) perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-72 kepada mereka. Proyek ini merupakan PBL (project base learning) yang kedua bagi mereka. Mereka harus mengerjakan dan menyelesaikan proyek ini, sambil mengambil pelajaran dari setiap yang mereka temukan (learning by doing).
Hal yang pertama kali dilakukan adalah menyusun kepanitiaan HUT Kemerdekaan RI ke-72. Di bawah bimbingan para ustadz/ah, para siswa ini memilih ketua panitia dengan cara diskusi klasikal. Terpilihlah Tsani Andriansyah Ramadhan sebagai ketua panitia. Selanjutnya, tim acara menyusun serangkaian kegiatan, di antaranya upacara bendera HUT Kemerdekaan RI, lomba memanah, lomba makan kerupuk, lomba menyusun ayat, lomba memasak, lomba futsal serta beberapa nominasi lainnya yaitu siswa terbaik akhlaknya, terbanyak hafalan Al Qurannya dan terbersih kamarnya. Kronologi serangkaian kegiatan HUT Kemerdekaan RI ini bisa dibaca di link berikut ini : Merebut Makna Kemerdekaan
Berkaitan dengan nilai nasionalisme dan religiusitas, para ustadz/ah SMP Sekolah Alam Quran (SalamQu) Cendekia Boarding School terus berupaya menanamkan pesan bahwa kedua nilai di atas bukanlah hal yang bertolak belakang seperti yang baru-baru ini ramai diisukan di media sosial oleh beberapa pihak yang salah memahami keduanya atau memang sengaja membiaskannya. Hal ini disampaikan juga oleh kepala sekolah SMP SalamQu Cendekia saat menjadi inspektur upacara bendera. Kita semua berharap, dengan pemahaman yang baik dan iman yang kuat para siswa SMP SalamQu Cendekia serta seluruh bangsa Indonesia berani mengatakan dan berusaha mengejewantahkannya dalam kehidupan sehari-hari: Aku nasionalis yang religius!
oleh Iik Nur Hikmah, S.Pd
Leave a Reply