Oleh Abi Akom*
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang yang beriman” (Q.S. Al Imran: 139)
Setiap orang, apalagi orang-orang besar, tentu memiliki karakter yang membuat mereka menjadi besar. “Tidak mungkin ada asap jika tak ada api,” begitu kata pepatah lama, “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Begitu kata Rendra (baca: sastrawan besar) dalam sebuah puisinya. Menjadi besarnya seseorang, tak mungkin tanpa sebab dan tak mungkin pula tanpa perjuangan.
Orang-orang besar adalah mereka yang menyibukkan hari-harinya dengan perkara-pekara besar. Seperti kata seorang mujahid besar, Abdullah Azam, “Sibukkanlah dirimu dengan perkara-perkara besar, karena jika kau tidak menyibukkan diri dengan perkara besar, maka kau akan disibukkan dengan perkara-perkara kecil.”
Lalu, bagaimana agar aku menjadi orang besar? Wujud konkret dari karakter orang-orang besar itu seperti apa?
Ada beragam jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Namun demikian, semuanya bermuara kepada siapa pun yang bertanya. Artinya, jawaban yang akan diterima berbanding lurus dengan tekad yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi besar. Semakin kuat tekadnya, maka semakin lebar jalan ia untuk menjadi besar.
Sebagai alternatif, sedikitnya ada lima karakter yang (mudah-mudahan) bisa membuat kita menjadi besar. Kelima karakter itu adalah sebagai berikut.
Optimistis
Karakter pertama yang dimiliki oleh orang-orang besar adalah opitimistis. Jika diartikan secara leksikal (baca: makna dalam kamus), optimistis adalah bersifat optimis; penuh harapan. Orang yang memiliki karakter seperti ini disebut optimis artinya orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal.
Tengoklah si Arai dalam novel Sang Pemimpi, betapa optimistisnya ia dalam menatap masa depan. Ia berkata lantang kepada sepupunya, si Ikal, “Bermimpilah, maka tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita.” Pada akhirnya kita ketahui bersama bahwa si Arai dan si Ikal berhasil ‘ditendang’ ke Paris oleh keoptimistisan mereka. Itu kan kisah fiktif? Siapa bilang? Tengok atau bertanyalah langsung pada penulisnya yang benar-benar mengalami episode ditendang ke Sorbone oleh mimpi-mimpinya, oleh keoptimistisannya.
Ingin Selalu Memperbaiki Diri
Orang-orang besar adalah mereka yang gigih dalam memperbaiki diri. Mereka sama sekali tak miliki sifat SMOS kuadrat (Senang Melihat Orang Susah dan Susah Melihat Orang Senang) Akan tetapi, mereka justru memiliki sifat SMD-SMKO (Senang Memperbaiki Diri dan Susah Melihat Kesalahan Orang lain). Artinya, orang-orang besar itu senantiasa sibuk dan menyibukan diri dalam pembaikan. Mereka sama sekali tidak tertarik untuk ‘menelaah’ kesalahan orang lain apalagi sampai menjadikannya ‘bahan kajian’ untuk ‘dis-go’; diskusi gosip. Orang-orang besar selalu meluangkan waktu untuk memperbaiki diri.
Baca juga : Membentuk karakter anak yang islami
Murah Senyum
Tersenyumlah engkau padaku, niscaya sang raja siang bertahta di langit hariku. Tersenyumlah engkau padaku, niscaya sang bayu semilir sejukkanku. Tersenyumlah engkau padaku, niscaya sang tirta meriak-riak di hatiku. Tersenyumlah engkau kepada dunia, maka dunia akan tersenyum padamu.
Sadarilah bahwa orang-orang besar adalah mereka yang murah senyum. Akan tetapi, senyum mereka tidak murahan justru senyum mereka mengandung umpan. Umpan untuk membuat siapapun yang melihat senyum atau dengan kata lain disenyumi mereka, tiba-tiba menjadi “terbang” karena riang.
Masih ingatkan, bagaimana orang besar sepanjang zaman (baca: Nabi Muhammad Saw) berkata dengan penuh kelembutan “Senyummu untuk Saudaramu adalah sedekah”
Menghargai Waktu
Mari kita tengok untaian mutiara yang termaktub dalam kitab sastra teragung yang ada di genggaman kita.
“Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Ma’Mur Saadie, penulis Antologi puisi Percakapan Malam yang juga seorang Dosen dan pengasuh pondok pesantren, berapresiasi tentang waktu. Menurut Ust. Ma’mur:
Waktu ialah detak jam
Yang satu berdentang
Yang lain hilang
Menuju keabadian:
Menunggumu di Mizan
Menghargai Peran Orang Lain
Manusia adalah zoon piliticon, begitu kata aristoteles. Manusia tak bisa hidup sebatang kara. Sampai kapanpun dan dimanapun ia, tentu akan membutuhkan orang lain. Mari terjaga dari keterlelapan, lalu kita tengok lingkungan sekitar, kita akan terperanjat dan menyadari bahwa kita terlahir tidak untuk mengunyah kesendirian. Mutlak, bagi siapapun yang menghargai peran orang lain dalam hidupnya, untuk menikmati kesuksesan; untuk menjadi besar.
Di Penghujung Duha, pada Oktober yang Bahasa
Esai ini pernah terbit dengan kemasan (sedikit) berbeda dalam Majalah BSO LITERAT yang diterbikan oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Hima Satrasia FPBS UPI.
*Panggilan Akrab Kepala Sekolah SalamQu Cendekia Boarding School.
Baca juga : Perubahan karaktreristik pada remaja
Leave a Reply