Oleh A.Komarudin, M.Pd
Sahabat, pernahkah kau duduk termenung dan menakjubi betapa indahnya hidup dengan berbaik sangka? Dengan lembut kau berkata kepada Sang Maha, Robbi, aku tak tahu, apakah ini rahmat ataukah musibah. Aku hanya akan berprasangka baik pada-Mu. Tanpa bimbingan dan pertolongan dari-Mu, mustahil rasanya, bisa melalui hari-hari dengan wajah berseri. Dalam pada itu, bukankah dalam hidupmu selalu ada kejutan yang membahagiakan ketika prasangka baik lebih dominan mewarnai langit harimu?
Sudah pasti begitu: prasangka yang baik tidak akan melahirkan sesuatu, selain kebaikan. Apapun yang terjadi, prasangka yang baik akan melahirkan sikap terbaik dalam merespon kejadian. Pantas saja, jika suatu saat Rasulullah tiba-tiba tertawa kecil dan bertanya pada para sahabat, “Tahukah kalian, kenapa tadi aku tertawa?” Para sahabat yang cantik imannya dan anggun perangainya pun menjawab, “Allahu Wa Rasuluhu A’lam, sungguh, Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih tahu”. Sang teladan kembali berujar dengan wajar berbinar, “Sungguh menakjubkan kehidupan seorang mukmin, apabila ia ditimpa musibah, ia bersabar, maka sabar menjadi kebaikan bagi dirinya. Dan jika ia dilimpahi bahagia, ia bersyukur, maka syukur menjadi kebaikan bagi dirinya.”
Allahu Akbar, adakah satu detik dari hidup kita yang tidak berharga? Elok nian cara islam mengajarkan kita untuk mengambil sikap pada setiap kejadian. Segalanya adalah kebaikan, sama sekali tak ada kesia-siaan. Tentu, semua itu tak akan berlaku bagi mereka yang tak mau mempercantik iman. Bagi mereka yang buruk rupa imannya, kebahagiaan justru mendatangkan kesombongan sementara musibah mendatangkan kutukan. Tak terbayangkan, betapa kerontangnya jiwa jika hari-hari yang dilalui luput dari usaha untuk mempercantik keimanan.
Sahabat, dalam hidup ini, selalu ada pilihan yang harus kita tentukan. Bahkan sejatinya, ketika kita diam terhadap sebuah pilihan baik atau buruk, hakikatnya, kita telah berada pada salah satu diantara keduanya. Bisa jadi, diam mendatangkan kebaikan. Atau mungkin saja, diam justru mengundang keburukan. Iman yang cantik tentu akan membuat kita lebih dekat pada pilihan yang tepat. Memilih baik atau buruk dalam keadaan yang paling buram. Berada pada posisi tegas memilih atau diam.
Mari kita sama-sama renungkan kembali perjalanan hari-hari kita yang kian membentang, adakah kita di hari akhir mendapat senang atau justru, dengan penuh kesia-siaan berusaha tunggang langgang oleh sebab akan dipanggang? Sangatlah elok jika salah satu hasil dari perenungan kita hari ini berupa komitmen untuk memperbaiki prasangka dan mempercantik keimanan.
*Esai ini pernah diterbitkan di www.dakwatuna.com
Leave a Reply